Baik Portugis, Spanyol, maupun Belanda ketika menginvasi suatu wilayah, maka mereka akan memaksakan penduduk pribumi untuk masuk Kristen. Sebab itu, mereka ini selain disebut sebagai imperialis dan kolonialis, juga disebut sebagai perampok akidah. Hal ini bukan tanpa maksud ekonomis dan politis. Kaum Salib melakukan ini agar perlawanan rakyat dapat padam dengan sendirinya karena mereka akan menganggap penjajah sebagai saudara seiman.
Wilayah Tapanuli bisa dijadikan contoh usaha Belanda dalam menjalankan politik kristenisasinya sebagai bagian dari strategi integral penjajahannya. J.PG. Westhof, seorang pekerja Belanda yang ditempatkan di Indonesia, menulis, “Menurut hemat kami, agar tetap menguasai daerah jajahan-jajahan kita, sebagian besar tergantung pada keberhasilan gerakan kristenisasi pada rakyat setempat. Baik bagi yang belum memeluk agama, maupun terhadap mereka yang Muslim”
Tidak ada catatan yang pasti sejak kapan Barat mencoba mengkristenkan Sumatera Utara. Namun di tahun 1824, 2 pendeta Baptis AS bernama Munson dan Lyman ditemukan terbunuh di Sinaksak. Pada 1861, pengkristenan di wilayah ini kian kuat dengan acianya Rijnsche Zending di Padang Sidempuan. Pemerintah Belanda mengutus misionaris Nommensen dan Simoniet untuk menvebarkan Kristen di Tamah Batak. Atas jasanya, Belanda menganugerahkan bintang Qificer van Oraaje-Nassau kepada Nommensen (1911).
Di akhir abad ke-19, Sumatera nyaris seluruhnya sudah berada di dalam genggaman Belanda. Tinggal Aceh dan Tapanuli yang belum menandatangani Kole I Tolkenng, sebuah perpanjian pendek yang menegaskan dan mengakui dominasi Belanda di bidang politik, ekonomi, dan sebagainya. Aceh dan Tapanuli di situ pihak berperang melawan Belanda di pihak lain. Di tengah gejolak politik dan ekonomi ini, juga serbuan misionaris, Si Singamangaraja XII dilantik menjadi Maharaja Negeri Toba.
Tidak seperti yang disangka banyak orang, Si Singamangaraja XII bukanlah pemeluk agama Palbegu atau Parmalim, namun seorang Muslim yang taat. Bukti-bukti tentang hal ini cukup banyak. Di antaranya adalah cap kerajaan yang berbunyi: “Inilah Cap Maharaja di negeri Toba. Kampung Bakara nama kotanya. Hijrah Nabi 1304“. Cap ini dengan sendirinya menggambarkan betapa lekatnya Islam mempengaruhi diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf Batak yang masih dipergunakan, sama saja dengan yang dilakukan Diponegoro yang masih mempertahankan huruf Jawa dalam menulis surat.
Bendera perang Si Singamangaraja XII pun kental dengan ornamen Islam, yakni ada gambar kelewang serta matahari dan bulan. Sebuah koran Belanda pernah memberitakan agama Si Singamangaraja XII, antara lain: "VoIgens bericbten van de bevolking moat de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Nam in bekeerd, dock hij wird geen fanatiek islamiet en oefende Been druk op .1j.ri angering nit am rich to bekeeren." (Menurut kabar kabar dari penduduk, raja yang sekarang—maksud titularis adalah Si Singamangaraja XII, sejak 5 tahun lalu telah memeluk Islam yang fanatik. Namun dia tidak memaksa orang-orang sekelilingnya untuk menukar agama).
Koran Belanda di atas cukup jujur memaparkan Si Singamangaraja XII yang walau seorang raja muslim, namun tetap memberi kebebasan rakyatnya untuk memilih keyakinan. Beda dengan penyebaran Salib yang dilakukan Rijnsche Zending di Toba yang didukung kekuatan militer Belanda.
Dalam melawan Belanda, Si Singamangaraja XII bekerjasama dengan Panglima Nali dari Kerajaan Islam Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Kerajaan Islam Aceh. Keislaman Sisingamangaraja XII membuatnya teguh dalam berjuang membela al-hag melawan kebathilan. Beliau tidak saja dianggap Raja, namun juga Imam oleh rakyatnya. Menghadapi seorang pemimpin yang didukung penuh rakyatnya sendiri, Belanda akhirnya memakai cara licik. Ibu, Permaisuri, dan kedua putra Si Singamangaraja ditangkap. Belanda lalu membujuk agar Sisingamangaraja mau berunding, namun cara ini pun ternyata tidak mempan.
Akhirnya Belanda menurunkan pasukan besar-besaran dengan kekuatan penuh. Pada 17 Juni 1907, di bawah pimpinan Kapten Christofel, Belanda menggempur pusat pertahanan Sisingamangaraja. Walau terdesak, Sisingamangaraja menolak untuk menyerah. Ulama pejuang ini akhirnya menemui syahid bersama Lopian, puterinya tercinta.
Wilayah Tapanuli bisa dijadikan contoh usaha Belanda dalam menjalankan politik kristenisasinya sebagai bagian dari strategi integral penjajahannya. J.PG. Westhof, seorang pekerja Belanda yang ditempatkan di Indonesia, menulis, “Menurut hemat kami, agar tetap menguasai daerah jajahan-jajahan kita, sebagian besar tergantung pada keberhasilan gerakan kristenisasi pada rakyat setempat. Baik bagi yang belum memeluk agama, maupun terhadap mereka yang Muslim”
Tidak ada catatan yang pasti sejak kapan Barat mencoba mengkristenkan Sumatera Utara. Namun di tahun 1824, 2 pendeta Baptis AS bernama Munson dan Lyman ditemukan terbunuh di Sinaksak. Pada 1861, pengkristenan di wilayah ini kian kuat dengan acianya Rijnsche Zending di Padang Sidempuan. Pemerintah Belanda mengutus misionaris Nommensen dan Simoniet untuk menvebarkan Kristen di Tamah Batak. Atas jasanya, Belanda menganugerahkan bintang Qificer van Oraaje-Nassau kepada Nommensen (1911).
Di akhir abad ke-19, Sumatera nyaris seluruhnya sudah berada di dalam genggaman Belanda. Tinggal Aceh dan Tapanuli yang belum menandatangani Kole I Tolkenng, sebuah perpanjian pendek yang menegaskan dan mengakui dominasi Belanda di bidang politik, ekonomi, dan sebagainya. Aceh dan Tapanuli di situ pihak berperang melawan Belanda di pihak lain. Di tengah gejolak politik dan ekonomi ini, juga serbuan misionaris, Si Singamangaraja XII dilantik menjadi Maharaja Negeri Toba.
Tidak seperti yang disangka banyak orang, Si Singamangaraja XII bukanlah pemeluk agama Palbegu atau Parmalim, namun seorang Muslim yang taat. Bukti-bukti tentang hal ini cukup banyak. Di antaranya adalah cap kerajaan yang berbunyi: “Inilah Cap Maharaja di negeri Toba. Kampung Bakara nama kotanya. Hijrah Nabi 1304“. Cap ini dengan sendirinya menggambarkan betapa lekatnya Islam mempengaruhi diri Si Singamangaraja XII. Adapun huruf Batak yang masih dipergunakan, sama saja dengan yang dilakukan Diponegoro yang masih mempertahankan huruf Jawa dalam menulis surat.
Bendera perang Si Singamangaraja XII pun kental dengan ornamen Islam, yakni ada gambar kelewang serta matahari dan bulan. Sebuah koran Belanda pernah memberitakan agama Si Singamangaraja XII, antara lain: "VoIgens bericbten van de bevolking moat de togen, woordige titularis een 5 tak jaren geleden tot den Nam in bekeerd, dock hij wird geen fanatiek islamiet en oefende Been druk op .1j.ri angering nit am rich to bekeeren." (Menurut kabar kabar dari penduduk, raja yang sekarang—maksud titularis adalah Si Singamangaraja XII, sejak 5 tahun lalu telah memeluk Islam yang fanatik. Namun dia tidak memaksa orang-orang sekelilingnya untuk menukar agama).
Koran Belanda di atas cukup jujur memaparkan Si Singamangaraja XII yang walau seorang raja muslim, namun tetap memberi kebebasan rakyatnya untuk memilih keyakinan. Beda dengan penyebaran Salib yang dilakukan Rijnsche Zending di Toba yang didukung kekuatan militer Belanda.
Dalam melawan Belanda, Si Singamangaraja XII bekerjasama dengan Panglima Nali dari Kerajaan Islam Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Kerajaan Islam Aceh. Keislaman Sisingamangaraja XII membuatnya teguh dalam berjuang membela al-hag melawan kebathilan. Beliau tidak saja dianggap Raja, namun juga Imam oleh rakyatnya. Menghadapi seorang pemimpin yang didukung penuh rakyatnya sendiri, Belanda akhirnya memakai cara licik. Ibu, Permaisuri, dan kedua putra Si Singamangaraja ditangkap. Belanda lalu membujuk agar Sisingamangaraja mau berunding, namun cara ini pun ternyata tidak mempan.
Akhirnya Belanda menurunkan pasukan besar-besaran dengan kekuatan penuh. Pada 17 Juni 1907, di bawah pimpinan Kapten Christofel, Belanda menggempur pusat pertahanan Sisingamangaraja. Walau terdesak, Sisingamangaraja menolak untuk menyerah. Ulama pejuang ini akhirnya menemui syahid bersama Lopian, puterinya tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar