Dibaca Kali
Bicara
soal seks dan seksualitas, mungkin lebih mengenal Kama Sutra dari
India daripada Serat Centhini, karya sástra Jawa kuno yang dirilis di
awal abad ke-19. Padahal “manual” versi lokal ini dipercaya jauh lebih
lengkap dan “menantang”.
Tak
ada yang bisa memungkiri, urusan seks selalu saja menarik. Entah
dengan bisik-bisik di antara kaum lelaki di warung kopi, atau di
antara kaum perempuan di sela-sela arisan ibu-ibu se-RT. Kadang juga
dibicarakan secara terbuka tapi terbatas, seperti di ruang seminar
atau kesempatan formal lainnya.
Seks
dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas, merupakan
bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri
instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan
untuk mempelajari, menganalisis, menyusun manual (panduan), atau
mengungkapkannya lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak
dahulu kala.
Beberapa
manual kuno yang pernah ada, bisa kita sebut misalnya Ars Amatoria
(The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM -
17 M). Atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India, yang ditaksir
hidup di zaman Gupta (sekitar abad ke 1 - 6 M). Keduanya, bukan
melihat seks sebagai subjek penelitian medis dan ilmiah, melainkan
sebagai sex manual.
Di
akhir abad ke- 19 dan awal abad ke-20, neurolog dan pakar
psikoanalisis asal Austria, Sigmund Freud (1856 - 1939), mengembangkan
sebuah teori tentang seksualitas yang didasarkan pada studinya
terhadap para kliennya.
Nun
jauh di sana, di tanah JaWa pada awal abad ke-19 muncul pula sebuah
karya sastra yang terkenal hingga kini, yaitu Serat Centhini (nama
resminya Suluk Tembangraras). Serat ini digubah pada sekitar 1815 oleh
tiga orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura 11,
Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura (Haji Ahmad ilhar) atas
perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.
Serat
Centhini yang terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) itu antara lain
memang bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat
ini menjadi termasyhur, bahkan di kalangan para pakar dunia.
Seorang
kontributor sebuah surat kabar Prancis, Elizabeth D. Inandiak,
misalnya, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Prancis dengan judul
Les Chants de l’ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).
Blak-blakan
*
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat
represif-feodalistik, demikian tulis Otto Sukatno CR dalam Seks Para
Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), dalam
bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan.
Masalah
seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari.
Dalam Serat Centhini, misalnya, masalah seksual ternyata menjadi tema
sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng
aling-aling. “Ini sangat berlawanan dengan etika sosial Jawa yang
bersifat puritan dan ortodoks,” tulis Sukatno.
Masalah
seksual dalam serat itu diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus.
“Misalnya, menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan dan
fungsinya, etika dan tata cara bermain seks, gaya persetubuhan, dan
lain-lain,” ungkap Sukatno. Bahkan seks juga dibicarakan dalam kaitannya
dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat hedonisme (sebuah
doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kebaikan
tertinggi atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan).
Sukatno
memberi contoh, dalam Centhini II (Pupuh Asmaradana) diuraikan
dengan gamblang soal “ulah asmara” yang berhubungan dengan lokasi
genital yang sensitif dalam kaitannya dengan permainan seks.
Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta
mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi.
Lalu
dalam Centhini IV (Pupuh Balabak) diuraikan secara blak-blakan
bagaimana pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat
perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap
juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam
masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang selama ini
kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam
mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu
digambarkan pasrah, nrima kepada lelaki.
Hal
itu tampak dalam Centhini V (Dhandhanggula). Di ruang belakang di
rumah pengantin perempuan pada malam menjelang hari H perkawinan antara
Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras, para perempuan tua-muda
sedang duduk-duduk sambil ngobrol. Ada yang membicarakan
pengalamannya dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama,
serta masalah-masalah seksual lainnya yang membuat mereka tertawa
cekikikan.
Salah
satu percakapan itu misalnya seperti ini, “Nyai Tengah menjawab
sambil bertanya, Benar dugaanku, Ni Daya, dia memang sangat kesulitan,
napasnya tersengal. Saya batuk saja, eh lepas Mak bul mudah sekali
lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa,
karena meski besar seakan mati.” Disambut dengan tawa cekikikan.
Tipe Perempuan
*
Seperti diungkap oleh Franz Magnis Suseno dalam Etika Jawa, yang
dikutip Sukatno, adalah fakta bahwa hubungan seksual dalam masyarakat
Jawa hanya diizinkan dalam rangka perkawinan.
Masyarakat
Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai wahana pelampiasan nafsu
hedonistik, penikmatan terhadap hidup. Namun, pada kenyataannya
tidaklah demikian. “Adanya sistem budaya katuranggan jelas merupakan
penyangkalan terhadap hal itu,” ungkap Sukatno.
Dalam
sejumlah karya sastra Jawa maupun karya tulis lainnya, seperti
primbon, soal katuranggan banyak diungkapkan, termasuk dalam Serat
Centhini. Dalam kaitannya dengan perempuan, katuranggan dapat diartikan
sebagai watak, sifat, atau tanda-tanda berdasarkan penampakan
lahiriahnya.
Dalam
budaya katuranggan, terdapat beberapa ciri perempuan yang menjadi
idealitas lelaki untuk dijadikan istri. Tipe-tipe perempuan demikian,
di antaranya disebut guntur madu, merica pecah, tasik madu, sri
tumurun, puspa megar, surya surup, menjangan ketawan, amurwa tarung,
atau mutyara.
Sebagai
gambaran, perempuan bertipe surya sumurup itu perempuan yang
memiliki dua lapis bibir yang berwarna merah jambu. Sorot matanya
kebiru-biruan. Ada sinom (rambut yang tumbuh di dahi) yang menggumpal.
Kedua alisnya nanggal sepisan (laksana bulan sabit). Perempuan
seperti ini menjadi idaman kaum lelaki karena memiliki kesetiaan tak
diragukan lagi. Lebih dari itu, ungkap Sukatno, ia tipe perempuan yang
serasi dalam bermain asmara, sehingga dapat mencapai derajat marlupa
(orgasme) bersama-sama.
Ekspresi
budaya katuranggan ini juga terungkap, misalnya dalam Kitab Primbon
Lumanakim Adammakna. Disebutkan, seperti Sukatno, ciri perempuan yang
menggairahkan secara seksual antara lain, bertubuh kecil, wajahnya
merah bersemu biru manis, rambut hitam panjang, sinom menggumpal.
Atau, bertubuh kecil, pandangan dan wajahnya nguwung (agak
melengkung), kulit kuning bersemu hijau, sinom menggumpal. Atau,
bertubuh tinggi langsing, badan mbambang (padat berisi), roman mukanya
galak, dan rambutnya panjang. Masih banyak lagi ciri perempuan
menggairahkan lainnya.
Seperti
diungkap Sukatno, tentu saja tidak semua tipe perempuan cocok dengan
tipe ideal seperti itu. Masih ada tipe-tipe lain yang merupakan tipe
campuran dari sebagian atau keseluruhan wacana keluruhan tiap-tiap
tipenya. Memang rumit dan kompleks, karena seks, tidak bisa dinilai
hanya dari segi penampilan lahiriahnya semata.
Jamu dan tatakarama
*
Ritualisasi seksual juga diungkapkan dalam Serat Centhini, termasuk
soal tata krama dalam melakukan hubungan seksual antarsuami-istri.
Dalam
berhubungan, misalnya, harus empan papan. Maksudnya, mengetahui
situasi, tempat, dan keadaan, tidak tergesa-gesa, dan juga merupakan
keinginan bersama.
Selain
mendasarkan diri pada tata krama menurut budaya Jawa, tata krama ini
juga mendasarkan diri pada hadis Nabi Muhammad SAW. Misalnya,
sebelum melakukan hubungan seksual, seyogianya mandi terlebih dahulu.
Setelah itu berdandan dan memakai wewangian. Sebelum mulai, berdoa
lebih dulu dengan mengucapkan syahadat.
Masyarakat
Jawa juga mengenal kalender seksual. “Ini berkaitan dengan masalah
rasa perempuan, yang berhubungan dengan organ genital seksualnya. Satu
asumsi bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif pada
perempuan selalu berpindah tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya Bulan
— ini berdasar pada kalender Jawa. Dengan mendasarkan pada kalender
seksual, pasangan dapat mencapai puncak kepuasan secara
bersama-sama,” tulis Sukatno.
Selain
diungkap mengenai tata cara, etika, dan ritualisasi, dalam Serat
Centhini II (Pupuh Asamaradana) diulas pula bentuk-bentuk serta pose
hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Semua itu dimaksudkan agar
pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama.
“Hubungan
seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun perempuan,
tetapi juga sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses
prokreasi, dan seks sekaligus sebagai wahana ibadah,” ungkap Sukatno.
Dalam
Serat Centhini IV (Pupuh Balabak) dijelaskan dengan gamblang posisi
berhubungan seksual sebagaimana ajaran Jawa. Dalam melakukan
penetrasi, misalnya, harus tetap pula melihat tipe perempuan
pasangannya. Maka kemudian ada gaya kadya galak sawer (patukannya
laksana ular galak); lir ngaras gandane sekar (seperti meraba baunya
bunga); lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang mengisap madu); lir
lumaksana pinggire jurang (ibarat berada di tepi jurang); baita layar
anjog rumambaka (seperti kapal layar turun ke tengah laut) dan
sebagainya.
Dalam
masyarakat Jawa lalu dikenal pula berbagai resep jalu usada
(pengobatan seksual) agar lelaki jadi perkasa. Misalnya, untuk mencegah
agar air mani tidak encer sehingga dapat memperoleh keturunan,
seperti dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula).
Resepnya berupa merica sunti dan cabe wungkuk tujuh buah, garam
lanang, arang kayu jati, gula aren seperempat. Semua bahan itu dipipis
hingga lembut di tengah halaman pada saat siang hari. Sesudah itu
dibentuk seperti kapsul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar